KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, atas izin dan petunjukNya,
alhamdulillah tugas makalah hukum administrasi pemda ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
Makalah PAJAK dan RETRIBUSI DAERAH ini diajukan
sebagai salah satu tugas pada mata kuliah Hukum Administrasi PEMDA . Makalah
ini memuat tentang Pajak Retribusi Daerah sebagai Sumber Pendapatan Daerah, Prinsip
dan Kriteria Perpajakan Daerah, dan Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Tujuan saya membuat makalah ini adalah untuk menambah nilai dari
mata kuliah Hukum Administrasi PEMDA.
Pada makalah ini
di jelaskansumber-sumber pendapatan daerah antara lain pajak dan retribusi
daerah dan di lengkapi dengan undang-undangnya, dalam makalah ini juga
menjelaskan aspek-aspek lain yang insya allah akan bermanfaat bagi kita, sebab
kita sebagai warga negara yang baik dan taat pada hukum kita perlu mengetahui
hal-hal apa saja yang menyangkut pajak daerah dan retribusi daerah, karena kalau
kita dapat mengetahuinya kita dapat dengan mudah memahami dan menjalankan
aturan perundang-undangan yang telah dibuat pemerintah daerah.
Pada makalah ini
banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Atas segala kelebihan dan
kekurangannya, semuanya kita serahkan kepada Allah SWT. Karena kekurangan hanya
milik saya semata. Mohon saran dan kritiknya untuk penyenpurnaan dalam
pembuatan makalah ini dan berikutnya dan terima kasih.
Bandung,
28 Mei 2012
Penulis
Asep
Rohman
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar belakang
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk
melaksanakan otonomi, pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan
daerah. Diantaranya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daaerah dan
retribusi daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi
daerah diharapkan dapat lebih mendorong pemerintahan daerah untuk terus
berupaya mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan
retribusi daerah. Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda diupayakan
tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai) karena hal
tersebut akan menimbulakan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan
mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi
dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi
daerah sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 pasal 2
ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan merupakan
objek pajak pusat. Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu
yang menyangkut pajak harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus diseratai dengan
perangkat peraturan perundang-undangan yang di sebut dengan hukum pajak. Di
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A mengatur dasar hukum pemungutan
pajak oleh negara. Pasal ini menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat
memaksa untuk keperluan negara di atur dengan Undang-Undang. Penyelenggaraan
otonomi daerah akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didikung
sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Salahsatunya adalah dengan meningkatkan
kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggara rumah tangganya. Sekalipun
demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia, bukan hanya
diukur dari jumlah PAD yang dapat dicapai, tetapilebih dari itu yaitu sejauh
mana pajak daerah dan retribusi daerah dapat berperan dalam mengatur
perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang, yang pada gilirannya
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apa saja yang
menjadi sumber pendapatan daerah
b.
Apa saja jenis pajak yang dapat ditarik pemerintahan
daerah
c.
Apa manfaat
dari pajak daerah dan retribusi daerah
1.3
Tujuan
a.
Mengetahui apa
saja sumber pendapatan daerah
b.
Mengetahui
perundang-undangan tentang pajak daerah dan retribusi daerah
c.
Dapat
mengetahui apa manfaat dari pajak daerah dan retribusi daerah
d.
Dapat
mengaetahui jenis, kriteria pajak daerah
e.
Dapat
mengetahui siapa saja yang harus membayar pajak
BAB II
PEMBAHASAN
- Pajak Retribusi Daerah sebagai Sumber
Pendapatan Daerah
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk
melaksanakan otonomi, pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan
daerah. Diantaranya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daaerah dan
retribusi daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi
daerah diharapkan dapat lebih mendorong pemerintahan daerah untuk terus
berupaya mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan
retribusi daerah. Berbagai macam respon timbul dari daerah-daerah diantaranya
ialah bahwa pemberian keleluasaan yang diberikan kepada pemerintahan daerah
untuk meningkatkan PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 telah memperlihatkan hasil yang
menggembirakan, yaitu sejumlah daerah berhasil mencapai peningkatan PAD-nya
secara signifikan. Akan tetapi kreativitas pemerintahan daerah yang berlebihan
daan tidak terkontrol dalam memungut pajak daerah dan retribusi daerah, akan
menimbulkan dampak yang merugikan bagi masyarakat dan dunia usaha, yang pada
gilirannya menyebabkan biaya ekonomi tinggi. Oleh karena itu Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2000 tetap memberikan batasan kriteria pajak daerah dan
retribusi daerah yang dapat di pungut pemerintahan daerah.
- Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda
diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai)
karena hal tersebut akan menimbulakan duplikasi pungutan yang pada akhirnya
akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi
dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi
daerah sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 pasal 2
ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan merupakan
objek pajak pusat:
Prinsip-prinsip umum perpajakan daerah yang memenuhi
kriteria umum tentang perpajaka daerah sebagai berikut:
1.
Prinsip
memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah naik turun
mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
2.
Adil
dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan kelompok masyarakat
dan secara horizontal, artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3.
Administrasi
yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung, memuaskan bagi wajib pajak.
4.
Secara
politis dapat diterima oleh masyarakat sehingga timbul motivasi dan kesadaran
pribadi untuk membayar pajak.
5.
Nondistorsi
terhadap perekonomia: implikasi pajak atau pungutan yang hanya menimbulkan
pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada
dasarnya, setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan suatu beban, baik
bagi konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan yang berlebihan sehingga merugikan masyarakat secara
menyeluruh.
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, perpajakan
daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu sebagai berikut:
1.
Pajak
daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandigan antara penerimaan
pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
2.
Relatif
stabil, artinya penerimaan pajaknya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadang-kadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara tajam.
3.
Tax
base-nya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan dan kemampuan
untuk membayar.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah,
pemberian kewenangan untuk mengadakan pemungutan pajak, selain mempertimbangkan
kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku secara umum, seyogianya juga harus
memprtimbangkan ketetapan suatu pajak sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang
baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada daerah
dalam rangka pembiayaan desentralisasi. Untuk itu, pemerintah daerah dalam
melakukan pungungutan pajak harus tetap “menempatkan” sesuai dengan fungsinya.
Adapun fungsi pajak di kelompokan menjadi dua yaitu: fungsi budgeter dan
fungsi regulator.
Funsi budgeter, yaitu
apabila pajak sebagai alat untuk mengisi kas negara digunakan untuk membiayai
kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Fungsi regulator yaitu apabila
pajak dipergunakan sebagai alat mengatur untuk mencapai tujuan, misalnya pajak
minuman keras dimaksudkan agar rakyat menghindari atau mengurangi konsumsi
minuman keras, pajak ekspor komoditas tertentu dalam rangka menghindari
kelangkaan produk tersebut dalam negeri.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan
pertimbangan yang diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan pada tingkat
pemerintahan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota yaitu sebagai berikut:
1.
Pajak
yang dimaksudkan untuk tujuan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk tujuan
distribusi pendapatan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab pemerintah pusat.
2.
Basis
pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu mobile. Pajak
daerah yang sangat mobile akan mendorong pembayar pajak merelokasi usahanya
dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang beban pajaknya rendah.
Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu mobile akan mempermudah daerah untuk
menetapkan tarif pajak yang berbeda sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat.
Untuk alasan ini, pajak konsumsi di banyak negara diserahkan kepada daerah
hanya karena pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti provinsi di
canada). Dengan demikian, basis pajak mobile merupakan persyaratan utama untuk
mempertahankan di tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. (pusat/provinsi),
3.
Basis
pajak yang distribusinya sangat timpang antardaerah, seharusnya diserahkan
kepada pemerintahan pusat.
4.
Pajak
daerah seharusnya visible dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas bagi pembayar
pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak terutang dapat dengan
mudah dihitung sehingga dapat mendorong akuntabilitas daerah.
5.
Pajak
daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah lain karena akan
memperlemah hubungan antara pembayar pajak dan pelayanan yang diterima (pajak
adalah fungsi dari pelayanan).
6.
Pajak
daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai untuk
menghindari ketimpangan fiskal vertikal yang besar. Hasil penerimaan, idealnya,
harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu berfluktuasi.
7.
Pajak
yang diserahkan kepada daerah seharusnya relatif mudah di administrasikan atau
dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara ekonomi berkaitan dengan
kebutuhan data, seperti identifikasi jumlah pembayar pajak, penegakan hukum dan
komputerisasi.
8.
Pajak
dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya pada semua
tingkat pemerintahan, tetapi penyerahan kewenangan pemungutannya kepada daerah
akan tetap sepanjang manfaatnya dapat dilokasikan bagi pembayar pajak lokal.
- Ketentuan Pungutan Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu
yang menyangkut pajak harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan demikian, pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus diseratai dengan
perangkat peraturan perundang-undangan yang di sebut dengan hukum pajak. Di
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A mengatur dasar hukum pemungutan
pajak oleh negara. Pasal ini menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat
memaksa untuk keperluan negara di atur dengan Undang-Undang.
Pengaturan kewenangan pengenaan pemungutan pajak daerah
dan retribusi daerah dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 yang mulai berlaku
pada tahun 1998 dianggap kurang memberikan peluang kepada daerah untuk
mengadakan pungutan baru. Walaupun memberikan kewenangan kepada daerah,
undang-undang tersebut harus ditetapkan dengan peraturan pemerintahan ssehingga
saat Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 berlaku, belum ada satupun daerah yang
mengusulkan pungutan baru kerana menganggap hal tersebut sulit dilakukan.
Selain itu, pengaturan agar Perda
tentang pajak daerah dan retribusi daerah harus mendapat pengesahan dari pusat
juga dianggap telah mengurangi otonomi daerah. Dengan di ubahnya Undang-Undang
Nomor 18 tahun 1997 menjadi Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000, diharapkan pajak
daerah dan retribusi daerah akan menjadi salah satu PAD yang penting guna
membiayai penyelenggaraan dan pembangunan daerah. Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 dan
peraturan pemerintah pendukungnya yaitu PP Nomor 65 tahun 2001 tentang pajak
daerah dan PP Nomor 66 tahun 2001 tentang retribusi daerah menjelaskan
perbedaan antara jenis pajak daerah yang di pungut oleh provinsi dan jenis pajak yang dipungut
oleh kabupaten/kota. Pajak provinsi ditetapkan sebanyak empat jenis,yaitu:
1.
Pajak
kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (PKB dan KAA)
2.
Bea
balik nama kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air (BBNKB dan KAA)
3.
Pajak
bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB)
4.
Pajak
pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan permukaan (P3ABT dan AP)
Jenis pajak provinsi bersifat limitatif yang berarti
provinsi tidak dapat memungut pajak lain, selain yang telah di tetapkan, dan hanya
dapat menambah jenis retribusi lainnya sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
undang-undang. Adanya pembatasan jenis pajak yang dapat dipungut oleh provinsi
sebagai daerah otonom yang terbatas, yang hanya meliputi kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas daerah kabupaten/kota dan kewenangan
yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota, serta
kewenangan bidang pemerintahan tertentu. Sekalipun demikian, dalam
pelaksanaannya provinsi dapat memutuskan untuk tidak memungut jenis pajak yang
telah ditetapkan tersebut jika dipandang hasilnya kurang memadai. Berkaitan
dengan besarnya tarif, berlaku definitif untuk pajak provinsi yang ditetapkan
secara seragam di seluruh indonesia dan diatur dalam PP Nomor 65 tahun 2001
Sementara itu, pemerintah daerah kabupaten/kota diberi
kewenangan untuk memungut tujuh jenis pajak, yaitu:
a.
Pajak
hotel;
b.
pajak
restauran;
c.
pajak
hiburan;
d.
pajak
reklame;
e.
pajak
penerangan jalan;
f.
pajak
pengambilan bahan galian golongan C;
g.
pajak
parkir.
Jenis pajak kabupaten/kota tidak bersifat limitatif,
artinya kabupaten/kota diberi peluang untuk menggali potensi sumber-sumber
keuangannya, selain yang ditetapkan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor
34 tahun 2000, dengan menetapkan sendiri pajak yang bersifat spesifik dengan
memerhatikan kriteria yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut, kriteria
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Bersifat
pajak dan bukan retribusi;
2.
Objek
pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
mempunyai mobilitas yang cukup rendah serta hanya melayani masyarakat diwilayah
daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;
3.
Objek
dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
4.
Objek
pajak bukan merupakan objek pajak provinsi dan/atau objek pajak pusat;
5.
Potensinya
memadai;
6.
Tidak
memberikan dampak ekonomi yang negatif;
7.
Memerhatikan
aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;dan
8.
Menjaga
kelestarian lingkungan.
Besarnya tarif yang berlaku definitif untuk pajak kabupaten/kota
ditetapkan dengan peraturan daerah, tetap tiddak boleh lebih tinggi daripada
tarif maksimum yang telah di tentukan dalam Undang-Undang tersebut. Dengan
adanya pemisahan jenis pajak yang dipungut oleh provinsi dan yang dipungut oleh
kabupaten/kota diharapkan tidak adanya pengenaan pajak berganda.
Dalam rangka pengawasan, perda tentang pajak dan retribusi yang di
terbitkan oleh pemerintahan daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat
paling lambat lima belas hari sejak ditetapkan. Dalam hal Perda tersebut
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, pemerintah pusat melalui mentri dalam negeri dengan pertimbangan mentri
keuangan dapat membatalkan perda tersebut dalam kurun waktu satu bulan sejak
diterimanya peraturan tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut di atur dalam
pasal 5A dan pasal 25A Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 juncto pasal 80
ayat (2) PP Nomor 65 tahun 2001 dan pasal 17 ayat (2) PP Nomor 66 tahun 2001.
Sekalipun demikian, walaupun perda-perda tersebut sudah dibatalkan oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah
Agung (MA) segera setelah mengajukannya kepada pemerintah berdasarkan PP Nomor
20 tahun 2001 tentang pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.
- Peningkatan Penerimaan Pajak Daerah
Penggalian sumber-sumber keuangan daerah khususnya yang berasal
dari pajak daerah pada dasarnya perlu memerhatikan dua hal, yaitu dasar
pengenaan pajak dan tarif pajak. Pemerintahan daerah cenderung menggunakan
tarif yang tinggi agar memperoleh total penerimaan pajak daerah yang maksimal.
Pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi, secara teoritis tidak selalu
menghasilkan total penerimaan maksimum. Hal ini bergantung pada respon wajib
pajak, permintaan, dan penawaran barang yang dikenakan tarif pajak lebih tinggi.
Formulasi model ini dikenal sebagai Model Leviathan.
Model Leviathan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa
peningkatan penerimaan pajak daerah tidak harus dicapai dengan mengenakan tarif
pajak yang terlalu tinggi, tetapi dengan pengenaan tarif pajak yang lebih
rendah dikombinasikan dengan struktur pajak yang meminimalkan barang terhadap
pengenaan pajak sedemikian rupa, sehingga mencapai total penerimaan maksimum.
Model Laviathan ini dapat dikembangkan untuk menganalisis hubungan lebih lanjut
antara tarif dan dasar pengenaan pajak untuk mencapai total penerimaan
maksimal.
- Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dalam Mendukung Pembiayaan Daerah
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu bentuk peran
serta masyarakat dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Pajak daerah dan
retribusi daerah ini merupakan sumber pendapatan daerah yang penting untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembanguna daerah. Permasalahan yang
dihadapi oleh daerah pada umumnya dalam kaitan penggalian sumber-sumber pajak
daerah dan retribusi daerah, yang merupakan salah satu komponen PAD, belum
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerimaan daerah secara
keselruhan.
Untuk mengantisifasi desentralisasi dan proses otonomi daerah,
pungutan pajak dan retribusi daerah masih belum dapat diandalkan oleh daerah
sebagai sumber pembiayaan desentralisasi. Keadaan ini diperlihatkan dari suatu
studi yang dilakukan oleh LPEM-UI bekerja sama dengan clean Urban Project bahwa
banyak permasalan yang terjadi di daerah berkaitan dengan penggalian dan
peningkatan PAD, terutama hal ini disebabkan oleh hal berikut:
1. Relatif rendahnya basis pajak dan
retribusi daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 daerah kabupaten/kota
dimungkinkan untuk menetapkan jenis pajak dan retribusi baru. Akan tetapi,
melihat kriteria pengadaan pajak baru sangat ketat, khususnya kriteria pajak
daerah tidak boleh tumpang tindih dengan pajak pusat dan pajak provinsi,
diperkirakan daerah memiliki basis
pungutan yang relatif rendah dan terbatas, serta bervariasi antardaerah.
Rendahnya basis pajak ini untuk sebagian daerah berarti memperkecil kemampuan
manuver keuangan daerah dalam menghadapi krisis ekonomi.
2. Perannya yang tergolong kecil dalam
total penerimaan daerah
Sebagian besar penerimaan daerah masih berasal dari bantuan pusat.
Dari segi upaya pemungutan pajak, banyaknya bantuan dan subsidi ini mengurangi
“negosiasi” daerah terhadap pusat untuk memperoleh tambahan bantuan.
3. Kemampuan administrasi pemungutan di
daerah yang masih rendah
Hal ini mengakibatkan pemungutan pajak cenderung dibebani oleh
biaya pungut yang besar. PAD masih tergolong memiliki tingkay buoyancy yang
rendah. Salah satu sebabnya adalah diterapkannya sistem “target” dalam pungutan
daerah. Sebagai akibatnya, beberapa daerah lebih condong memenuhi target
tersebut. Walaupun dari sisi pertumbuhan ekonomi, pemasukan pajak dan retribusi
daerah dapat melampaui target yang ditetapkan.
4. Kemampuan perencanaan dan pengawasan
keuangan yang lemah
Hal ini mengakibatkan kebocoran yang sangat berati bagi daerah.
Selama ini, peranan PAD dalam membiayai kebutuhan pengeluaran daerah sangat
kecil dan bervariasi antardaerah, yaitu kurang dari 10% hingga 50%. Sebagian
besar daerah provinsi hanya dapat membiayai kebutuhan pengeluarannya kurang
10%.
5. Variasi dalam penerimaan diperparah lagi dengan sistem bagi hasil
(bagi hasil didasarkan pada daerah penghasil sehingga hanya menguntungkan daerah
tertentu). Demikian pula, distribusi pajak antardaerah juga sangat timpang
karena basis pajak antardaerah juga sangat bervariasai. Peranan pajak dan
retribusi daerah dalam pembiayaan yang sangat rendah dan bervariasi juga
terjadi karena adanya perbedaan yang sangat besar dalam jumlah penduduk,
keadaan geografis (berdampak pada biaya yang relatif mahal), dan kemampuan
masyarakat sehingga biaya penyediaan pelayanan kepada masyarakat menjadi sangat
bervariasi.
Tidak
signifikannya peran PAD dalam anggaran daerah tidak lepas dari sitem tax
assignment di Indonesia yang masih memberikan kewenangan penuh kepada
pemerintah pusat untuk mengumpulkan pajak-pajak potensial (yang tentunya
dilakukan berdaasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu), seperti pajak penghasilan,
pajak pertambahan nilai dan bea masuk. Kenyataan menunjukan bahwa distribusi
kewenangan perpajakan antara daerah dan pusat sangat timpang, yaitu jumlah
penerimaan pajak yang dipungut oleh dearah hanya sebesar 3,39% dari total
penerimaan pajak (pajak pusat dan pajak daerah). Ketimpangan dalam penguasaan
sumber-sumber penerimaan pajak tersebut memberikan petunjuk bahwa pertimbangan
keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah di Indonesia dari sisi revenue
assignment masih terlalu sentralistis.
- Optimalisasi Pungutan Pajak dan Retribusi
Daerah dalam Rangka Meningkatkan Kemampuan Keuangan Daerah
Ciri
utama yang menunjukan suatu daerah otonom mampu berotonomi, terletak pada
kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom memiliki kewenangan dan
kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, mengelola dan
menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerahnya. Kebergantungankepada bantuan pusat hasul seminimal
mungkin, sehingga PAD, khususnya pajak dan retribusi daerah, menjadi bagian
sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan pertimbangan keuangan
ousat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Berkaitan
dengan hal tersebut, optimalisasi sumber-sumber PAD perlu dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan keuangan daerah. Untuk itu, diperlukan intensifikasi dan
ekstensifikasi subjel dan objek pendapatan.
Dalam
jangka pendek, kegiatan yang paling mudah dan dapat segera dilakukan adalah
melakukan intensifikasi terhadap objek atau sumber pendapatan daerah yang sudah
ada, terutama melalui pemanfaatan teknologi dan informasi. Dengan melakukan
efektivitas dan efisiensi sumber atau objek pendapatan daerah, produktivitas
PAD akan meningkat tanpa harus melakukan perluasan aumber atau objek pendapatan
baru yang mendapatkan studi, proses, dan waktu yang panjang. Dukungan teknologi
informasi secara terpadu guna mengintensifkan pajak mutlak diperlukan karena
sistem pemungutan pajak yang dilaksanakan selama ini cenderung tidak optimal.
Masalah konvensional dan masih banyak sistem berjalan secara varsial sehingga
informasi yang disampaikan tidak konsisten, versi data yang berbeda, dan data
tidak up-to-date. Pemasalahan pada sistem pungutan pajak cukup banyak, misalnya
data wajib pajak/retribusi, penetapan jumlah pajak, jumlah tagihan pajak, dan
target pemenuhan pajak yang tidak optimal.
Secara
umum, upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka
meningkatkan pendapatan daerah melalui optimalisasi intensifikasi pemungutan
pajak daerah dan retribusi daerah, antara lain dengan cara-cara berikut:
1.
Memperluas
basis penerimaan
Tindakan
yang dilakukan untuk memperluas basis penerimaan yang dapat dipungut oleh
daerah, yang dalam perhitungan ekonomi dianggap potensial, yaitu
mengidentifikasi pembayar pajak baru/potensial dan jumlah pembayar pajak,
memperbaiki basis data dan objek, memperbaiki penilaian, menghitung kapasitas
penerimaan dari setiap jenis pungutan.
2.
Memperkuat
proses pemungutan
Upaya
yang dilakukan dalam memperkuat proses pemungutan, yaitu antara lain
mempercapat penyusunan Perda, mengubah tarif, khususnya tarif retribussi dan
peningkatan SDM.
3.
Meningkatkan
pengawasan
Hal
ini dapat ditingkatkan, yaitu dengan melakukan pemeriksaan secara dadakan dan berkala,
memperbaiki proses pengawasan, menerapkan sanski terhadap penunggak pajak dan
sanksi terhadap pihak fiskus, serta meningkatkan pembayaran pajak dan pelayanan
yang diberikan oleh daerah.
4.
Meningkatkan
efisiensi administrasi dan menekan biaya pemungutan.
Tindakan
yang dilakukan oleh daerah, yaitu memperbaiki prosedur administrasi pajak
melalui penyederhanaan administrasi pajak, meningkatkan efisiensi pemungutan
dari setiap jenis pemungutan.
5.
Meningkatkan
kafasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik
Hal
ini dapat dilakukan dengan meningkatkan koordinasi dengan intasi terkait di
daerah. Selanjutnya, ekstensifikasi perpajakn juga dapat dilakukan, yaitu
melalui kebijaksanaan pemerintah untuk memberikan kewenangan perpajakan yang
lebih besar kepada daerah pada mas mendatang. Untuk itu, perlu perubahan dalam
sistem perpajakan Indonesia melalui sistem pembagian langsung atau beberapa
basis pajak pemerintahan pusat yang lebih tepat di pungut oleh daerah.
Berkaitan
dengan hal tersebut, ada gagasan yang berkembang dikalangan para pakar
internasional, akademisi maupun praktisi di bidang desentralisasi fiskal, untuk
menambah taxing power kepada pemerintah daaerah. Hal ini dapat dilihat
dari gambaran consolidated revenues APBD dan APBN (APBD kabupaten/kota +
provinsi+ penerimaan dalam negeri dalam APBN), porsi PAD hanya sebesar
5,30% dari total consolidated revenues,
dipihak lain pengeluaran yang menjadi tanggung jawab daerah sekitar 30% dari
consolidated expenditures. Gambaran porsi PAD terhadap total consolidated
revenues yang hanya 5,30% tersebut menunjukan berapa sentralistisnya sisi
penerimaan antara kabupaten/kota dan provinsi disatu pihak dan penerimaan dalam
negeri dalam APBN dipihak lain. Sebagai perbandingan yang sama, masing-masing
untuk developing countries, transition countries, dan OECD countries rata-rata
sebesar 9,27%, 16,59% dan 19,13%. Keadaan ini kurang mendukung akuntabilitas
dari penggunaan anggaran daerah, dan keterbatasan dana transfer dari pusat
untuk membiayai kebutuhan daerah idealnya dapat ditutup oleh daerah dengan
menyesuaikan basis pajak atau tarif pajak daerhnya.
Untuk itu, perlu dicarikan upya untuk meningkatkan taxing power daerah,
antara lain melalui pengalihan sepenuhnya beberapa pajak pusat kepada daerah
(artinya daerah sepenuhnya menetapkan basis pajak, tarif ataupun administrasi
pemungutannya), pengalihan sebagian penerimaan negara bukan pajak (PNBP) kepada
daerah dan kebijakan lain-lain sharring tax dan piggy backing system.
Kabupaten/kota perlu diberikan tambahan pendapatan dengan memberikan
kewenangan penuh memungut pajak sampai dengan besaran tertentu. Pemerintah
kabupaten/kota diberikan wewenang untuk menetapkan dasar pengenaan pajak (tax-base)
dan tarif sampai dengan batas tertentu atas kedua jenis pajak tersebut,
meskipun untuk sementara aktu administrasinya akan tetap dilakukan oleh
pemerintah pusat,. Kebijakan ini sekaligus diharapkan dapat menghilangkan upaya
daerah untuk menggali sumber-sumber PAD yang berdampak distorrsif terhadap
perekonomian. Dipihak lain, dilihat dari sisi kewenangan yang menjadi tanggung
jawab daerah, Indonesia tergolong negara yang melaksanakan desentralisasi
dengan suatu proses yang big-bang. Hal ini dapat dilihat dari pergeseran expenditure
assignment yang dilaksanakan oleh daeraah pada tahun 1990-an sebesar 16.59%
dari otal consolidated expenditure (APBD+APBN) meningkat menjadi 27,78
pada tahun 2001.
Berdasarkan uraian tersebut, penyelenggaraan otonomi daerah akan
dapat dilaksanakan dengan baik apabila didikung sumber-sumber pembiayaan yang
memadai. Salahsatunya adalah dengan meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi
penyelenggara rumah tangganya. Sekalipun demikian, otonomi daerah dalam
kerangka Negara Republik Indonesia, bukan hanya diukur dari jumlah PAD yang
dapat dicapai, tetapilebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan
retribusi daerah dapat berperan dalam mengatur perekonomian masyarakat agar
dapat bertumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat di daerah.
BAB III
KESIMPULAN
Kesimpulan
yang dapat saya tarik dari pembahasan di atas dalah bahwa pajak daerah dan
retribusi daerah merupakan salah satu cara meningkatkan APBD tapi pajak dan
retribusi daerah itu harus dilaksanakan dengan benar dan adil oleh pemerintah
maupun pembayar pajak, di kenakannya sanksi terhadap orang yang menunggak ataun
menyalahkan aturan adalah hal yang benar, seperti yang terdapat pada
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
seperti juga dijelaskan di atas bahwa terdapat kategori-kategori atau
kriteria-kriteria pajak. Berapa tarif pajak yang di tetapkan yang harus sesuai
tidak menjadi beban bagi pembayar pajak, di jelaskan juga jenis-jenis pajak apa
saja yang di ambil sseperti pajak perhotelan, pajak hiburan, pajak restoran,
pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan bahan galian golongan
C dan pajak parkir. Di harapkan dengan adanya pembayaran pajak dan retribusi
daerah yang tidak membebani masyarakat pembayar pajak dapat berpran mengatur
perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang yang pada gilirannya dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.